Senin, 15 Desember 2008

Krisis Global

Para pembaca blog yang rajin mengikuti berita ekonomi, mungkin sudah mengetahui bahwa ada sesuatu yang ‘kurang beres’ dengan sektor finansial di Amerika (dan juga Eropa). Meskipun demikian, mungkin hanya sebagian yang mengerti apa penyebab krisis tersebut serta konsekuensi dari krisis tersebut. Mudah-mudahan cerita saya ini bisa memberikan sedikit gambaran apa yang sebenarnya sedang terjadi di sektor finansial saat ini.
—–oOo—–
Untuk memahami Credit Crisis yang sedang berlangsung di saat ini maka ada baiknya pertama-tama kita memahami dulu tentang bank dan ‘cara kerja’nya. Apa itu Bank? Meskipun Bank sudah menjadi bagian kehidupan kita sehari-hari, mungkin hanya sebagian dari teman-teman pembaca blog ini yang menyadari bahwa sebuah Bank, pada ‘intinya’ merupakan suatu usaha penyewaan/rental. Pertanyaan natural yang timbul berikutnya adalah : ‘Apa yang mereka sewakan?’. Jawabannya adalah : Uang.
Meskipun pada zaman sekarang, kebanyakan bank menjalankan beberapa ‘kegiatan’ lain yang bisa menghasilkan keuntungan, pada awalnya Bank lahir dari ‘kegiatan sewa-menyewa’ uang (dan hingga kini pun, mayoritas bank tetap mengandalkan ’sewa-menyewa’ uang ini untuk mendapatkan keuntungannya). Dalam hal ini, bank akan ‘menyewa’ uang dari pihak yang memiliki uang yang tidak terpakai, dan lalu uang itu ‘disewakan’ kepada pihak yang membutuhkan uang. ‘Biaya sewa’ uang ini yang lalu kita kenal dalam kehidupan sehari-hari sebagai ‘Bunga’/interest.
Satu aspek yang menarik dari operasi ’sewa-menyewa uang’ yang dilakukan Bank, adalah adanya Gap/kesenjangan dalam kegiatan ’sewa-menyewa uang’ ini. Apa Gap/kesenjangan yang saya maksud ini?
Umumnya ketika bank ‘menyewa’ uang dari masyarakat, sewa yang mereka lakukan bersifat jangka pendek. Sebagai contoh, kita lihat ‘tabungan’. Setiap kali kita menabung, yang kita lakukan sebenarnya adalah menyewakan uang kita kepada bank. Tabungan ini sendiri merupakan ’sewa jangka pendek’, karena setiap saat uang tersebut bisa kita tarik (dengan kata lain ‘mengakhiri’ sewa-menyewa tersebut). Sama juga halnya dengan deposito. Deposito juga bersifat ‘jangka pendek’, dan umumnya hanya bertempo 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan hingga 12 bulan.
Sebaliknya, ketika bank ‘menyewakan’ uang tersebut (kepada para pengambil fasilitias kredit), sewa yang mereka lakukan umumnya bersifat jangka panjang. Contohnya kredit otomotif yang biasanya bertempo beberapa tahun, atau juga KPR yang di negara Amerika bisa berjangka hingga 30 tahun.
—–oOo—–
Apa konsekuensi dari kesenjangan ‘menyewa jangka pendek, menyewakan jangka panjang ini‘?
Di satu sisi, akibat kesenjangan ini, bank akan bisa menikmati keuntungan tambahan. Dalam ’sewa-menyewa uang’, semakin lama masa sewa uang, semakin besar resiko yang ditanggung oleh pemilik uang, misalnya saja resiko inflasi, resiko perubahan suku bunga, dll. Akibatnya, ’sewa’ uang jangka panjang akan lebih mahal dibandingkan dengan ’sewa’ uang jangka pendek. Contoh realnya, deposito yang berjangka 1 tahun umumnya akan memberikan bunga yg lebih tinggi daripada deposito 1 bulan. Dengan ‘menyewa jangka pendek dan menyewakan jangka panjang‘, maka berarti bank mendapat keuntungan karena mendapatkan dana dengan ‘murah’, sebaliknya meminjamkan uangnya dengan lebih ‘mahal’.
Di sisi lainnya, kesenjangan ini membuat bank menanggung resiko likuiditas. Ini disebabkan karena pihak yang ‘menyewakan’ uang kepada Bank bisa dengan mudah menarik uangnya dalam jangka waktu yang relatif singkat, sedangkan pihak Bank tidak bisa menarik uang yang ‘disewakannya’ kepada pengambil kredit dengan cepat.
Sebagai ilustrasi sederhana:
Misalkan saja ada 100 orang yang menaruh deposito 3 bulan @Rp 1 milyar di Bank JS. Dengan demikian bank JS berhasil menghimpun dana Rp 100 Milyar. Dalam keadaan normal, besarnya dana ini akan relatif stabil. Akan ada orang yang mencairkan depositonya, tetapi akan ada juga nasabah baru yang membuka deposito di sana.
Oleh bank JS, dana yang terhimpun ini lalu dikucurkan sebagai kredit. Karena ada peraturan perbankan yang dikenal sebagai “Reserve Requirement”, maka dana Rp 100 milyar yang telah dihimpun itu tidak bisa dikucurkan 100% sebagai kredit. Misalkan saja modal yang dihimpun hanya hanya diijinkan untuk dikucurkan 70%, sehingga dalam contoh ini, bank JS hanya bisa mengucurkan kredit sebesar Rp 70 milyar. 30% dana yang dihimpun (Rp 30 Milyar) harus disimpan sebagai cadangan likuiditas.
Oleh Bank JS, dana Rp 70 Milyar lalu dikucurkan sebagai kredit bagi seorang developer properti dengan jangka waktu 5 tahun.
—–oOo—–
Dalam keadaan normal, pengaturan seperti ini tidak menimbulkan masalah. Hal ini dikarenakan bahwa bunga deposito itu biasanya sangat kompetitif dan tidak berbeda jauh antar bank, sehingga orang pada umumnya tidak mempunyai insentif yang besar untuk memindah-mindahkan depositonya.
Tetapi kini bayangkan apa yang akan terjadi jika para nasabah kehilangan kepercayaannya kepada Bank JS, misalkan saja karena ada berita bahwa Bank JS mengalami kerugian yang sangat besar akibat kredit macet? Anggaplah misalkan 20% nasabah menarik depositonya sehingga terjadi penarikan dana Rp 20 Milyar. Dalam hal ini Bank JS akan tetap ‘aman’, karena memiliki ‘ban serep’ berupa cadangan likuiditas sebesar Rp 30 Milyar.
Bagaimana jika nasabah yang menarik depositonya mencapai 40%, sehingga dana yang ditarik dalam contoh ini adalah sebesar Rp 40 Milyar? Bank JS akan kerepotan mencari dana itu karena cadangan likuiditas mereka hanya sebesar Rp 30 Milyar. Mereka tidak bisa meminta si pengambil kredit untuk mengembalikan Rp 70 milyar yang mereka pinjam pada saat itu juga, karena memang perjanjian kreditnya adalah utk jangka panjang (dalam hal ini 5 thn). Akibatnya Bank JS pun akan terpaksa mencari pinjaman, misalkan ke bank lain.
Para pembaca blog mungkin bisa membayangkan apa yang akan terjadi ketika tersebar berita bahwa ‘Bank JS harus meminjam ke bank lain untuk membayar deposito nasabahnya‘ dan di Bank JS mulai terlihat antrian para deposan yang ingin menarik depositonya. Kepanikan meluas dan kini semua nasabah bank JS pun bergegas mencairkan depositonya. Pada saat itu, bank-bank lain pun akan was-was untuk meminjamkan uangnya kepada bank JS karena khawatir bank JS akan tumbang dan tidak bisa membayar pinjamannya. Akibatnya, bank JS tidak mempunyai alternatif untuk mendapatkan dana dan malah benar tumbang.
Skenario seperti ini dalam dunia perbankan dikenal sebagai ‘Classic Bank Run‘ dimana kepanikan menimbulkan kepanikan sehingga nasabah suatu bank ‘berebutan’ menarik dananya dari suatu bank hingga akhirnya bank itu tumbang akibat kesulitan likuiditas.


Dalam part pertama artikel ini, saya telah bercerita tentang kesenjangan ‘menyewa jangka pendek, menyewakan jangka panjang‘ yang menimbulkan resiko likuiditas sehingga bisa menyebabkan rontoknya sebuah bank. Kesenjangan ini sendiri kerap disebut sebagai Asset-Liabilities Mismatch. Istilah lain yang juga kerap dipakai untuk menggambarkan kesenjangan ini adalah Duration Gap. Permasalahan Asset-Liabilities Mismatch ini juga yang menjadi penyebab rontoknya perusahaan Bear Sterns bulan Maret lalu.
Dalam operasinya sebelum mereka tumbang, Bear Sterns sangat aktif dalam dunia CDO. Apa itu CDO? CDO adalah suatu obligasi yang berdasarkan kepada suatu Collateralized Debt (instrumen hutang yang terkait dengan suatu barang jaminan/kolateral). Contoh Collateralized Debt misalnya adalah KPR/mortgage. Bagaimana cara kerja CDO ini? Mari kita lihat sebuah ilustrasi sederhana.
Misalkan sebuah bank mempunyai dana yang bisa dikucurkan untuk kredit sebesar Rp 100 Milyar. Dana ini sendiri didapat dari tabungan masyarakat di mana bunga yang harus dibayar oleh bank untuk tabungan ini adalah 5%. Dana ini lalu dikucurkan bank seluruhnya tersebut untuk KPR 30 tahun, dimana dari KPR tersebut bank memperoleh bunga sebesar 9% (sehingga bank mendapat keuntungan 4%). Untuk menyederhanakan contoh ini, kita asumsikan bank tersebut tidak bisa menghimpun dana dari masyarakat lagi sehingga dengan demikian bank tersebut tidak mempunyai dana lagi untuk dikucurkan sebagai kredit. Dalam kondisi ini, bank tersebut mempunyai 2 alternatif :
Alternatif 1:
Bank tersebut memegang semua KPR yang telah dikucurkannya tersebut hingga jatuh tempo (30 tahun lagi). Dengan demikian bank tersebut akan menikmati keuntungan selisih bunga sebesar 4% dari dana Rp 100 Milyar itu selama 30 tahun. Tetapi perlu diingat bahwa dalam alternatif ini, Bank tidak bisa mendapat keuntungan lebih lagi karena seluruh dananya telah dikucurkan untuk kredit ini.
Alternatif 2:
Bank tersebut ‘mengemas’ berbagai KPR itu menjadi suatu obligasi CDO yang lalu dijual kepada para Investor. Untuk membayar bunga obligasi CDO ini, Bank tersebut akan memakai bunga yang diterimanya dari pembayaran bunga berbagai KPR tersebut. Misalkan saja obligasi CDO itu memberikan bunga sebesar 8,5%. Kita asumsikan CDO itu terjual semuanya, maka dengan demikian bank tersebut akan mendapatkan keuntungan selisih bunga hanya sebesar 0,5% dari Rp 100 Milyar. Ini karena dari pembayaran KPR, bank tersebut mendapat 9%, sedangkan yang dipakai untuk membayar bunga obligasi CDO hanya 8,5%.
Sekilas ini terlihat lebih kecil daripada keuntungan 4% di alternatif 1. Tetapi perlu diingat bahwa dalam alternatif 2 ini, Bank mendapatkan kembali Rp 100 Milyarnya (hasil dari penjualan CDO). Jika dana ini dikucurkan kembali seluruhnya untuk KPR 30 tahun, maka Bank akan kembali mendapatkan keuntungan selisih bunga 4%. Ditambah dengan hasil 0,5% dari CDO, maka kini keuntungan bank dari Rp 100 Milyarnya mencapai 4,5%. Jika proses ini diulang-ulang (KPR yang dikucurkan lalu dijual lagi dalam bentuk CDO), maka keuntungan Bank akan semakin meningkat.
Dengan melihat ilustrasi di atas, maka kita bisa memahami mengapa Bank begitu gencar memberikan KPR, mengemasnya menjadi CDO, menjual CDO tersebut dan lalu dana hasil penjualan CDO itu kembali dikucurkan sebagai KPR.
—–oOo—–
Ketika pasar CDO ‘mati’ karena pecahnya bubble sektor properti, berbagai institusi keuangan yang selama ini gencar menjalankan operasi semacam di atas pun ‘kelimpungan’. Mereka tidak bisa menjual CDO yang dimilikinya karena tidak ada pembeli yang berminat dan terpaksa ‘memegang’ sendiri KPR dan CDO tersebut di pembukuannya.
Pada kasus Bear Sterns, asset yang dipegang oleh Bear Sterns dalam bentuk KPR subprime maupun CDO sangat besar. Di sini efek ‘beracun’ Asset-Liabilities Mismatch mulai bereaksi. Para kreditor yang selama ini meminjamkan uangnya kepada Bear Sterns pun mulai was-was dan enggan meminjamkan uangnya. Mengapa demikian?
Misalkan saja kita mempunyai dana Rp 100 juta. Seseorang lalu ingin meminjam uang tersebut untuk keperluan usaha. Seandainya kita tahu bahwa orang itu memiliki asset senilai Rp 200 juta dalam bentuk emas batangan, maka kemungkinan besar kita tidak akan khawatir untuk memberikan pinjaman sebesar Rp 100 juta tersebut.
Sekarang kita ganti ilustrasinya. Bagaimana jika ternyata orang itu memiliki asset tetapi asset ini berbentuk koleksi Ikan Lohan yang dibeli oleh orang itu beberapa tahun lalu seharga Rp 200 juta?
Dalam kasus ini, kemungkinan hal yang terpikir oleh kita adalah : ‘Meskipun ikan lohan tersebut dibeli seharga Rp 200 juta, apakah benar sekarang harganya masih Rp 200 juta? Apakah masih ada pasar/market untuk ikan Lohan seharga itu? Jangan-jangan sekarang ikan tersebut hanya bisa dijual Rp 20 juta karena sekarang animo masyarakat terhadap ikan lohan sudah tidak seperti dulu.“
Dengan pertimbangan di atas, maka mungkin kita akan ragu untuk meminjamkan dana sebesar Rp 100 juta kepada orang tersebut. Jika sampai usaha orang itu gagal, maka kita hanya bisa menyita ikan lohannya yang harganya sudah tidak jelas, dan untuk menjualnya pun akan sulit karena pasarnya sudah sangat minim.
Ilustrasi “asset ikan Lohan” di atas menggambarkan suatu kondisi yang dikenal sebagai Mark to Market.
—–oOo—–
Kasus Bear Sterns pun tidak berbeda jauh dengan ilustrasi di atas. Asset CDO yang dimiliki oleh Bear Sterns bisa kita ibaratkan sebagai ‘ikan lohan’. Para kreditor ragu untuk meminjamkan uang kepada Bear Sterns karena mereka merasa bahwa nilai asset total Bear Sterns sudah merosot jauh karena sebagian besar asset Bear Sterns berbentuk ‘ikan Lohan’ (CDO).
Seandainya Bear Sterns tidak mengalami Asset-Liabilities Mismatch, maka problem di atas mungkin tidak akan terlalu parah. Tetapi Bear Sterns dalam operasinya meminjam uang dari kreditornya untuk jangka pendek, dan meminjamkan uang tersebut secara jangka panjang (dalam bentuk KPR). Ketika pinjaman jangka pendek dari para kreditor jatuh tempo, para kreditor tersebut enggan meminjamkan lagi uangnya kepada Bear Sterns. Bear Sterns pun dilanda kesulitan likuiditas, yang seperti kita tahu berujung pada dijualnya Bear Sterns kepada JP Morgan dengan harga ‘obral’.
Secara umum, problem Asset-Liabilities Mismatch memang dialami oleh banyak institusi finansial di Amerika. Sekitar 2 minggu lalu, saya sempat menulis tentang rontoknya bank Indymac Bancorp. Kasus inipun tidak jauh berbeda dengan kasus Bear Sterns. Para pengamat sektor finansial pun memperkirakan masih akan ada lagi korban yang timbul akibat Asset-Liabilities Mismatch ini.


Di dalam part 2, saya telah bercerita tentang CDO (Collateralized Debt Obligation) dan ‘matinya’ pasar CDO. Kematian pasar CDO (karena tidak ada pembeli) membuat harga pasar CDO merosot jauh. Merosotnya harga pasar CDO ini lalu memaksa berbagai perusahaan finansial melakukan penyesuaian nilai assetnya (writedown).
Nilai asset yang menurun ini membuat ketahanan modal perusahaan-perusahaan itu terganggu. Mereka pun terpaksa memperkuat permodalan mereka dengan menerbitkan obligasi ataupun juga menerbitkan saham baru. Tumbangnya perusahaan seukuran Bear Sterns seakan menimbulkan trauma bagi para perusahaan tersebut. Mereka pun menjadi sangat enggan untuk mengucurkan kredit, bukan hanya kepada masyarakat, tetapi juga kepada sesama perusahaan finasial karena khawatir akan kondisi ketahanan modal mereka.
Keengganan para perusahaan finansial untuk mengucurkan kredit sangat meresahkan pemerintah USA. Agar bisa berjalan dan tumbuh dengan baik, dunia usaha membutuhkan akses ke fasilitas kredit. Tanpa adanya aliran kredit yang lancar dalam perekonomian, dunia usaha akan sulit berkembang bahkan tidak sedikit perusahaan yang akan berguguran. Dengan keadaan sektor properti saat ini yang dalam keadaan ‘koma’, tentunya pemerintah USA tidak ingin ada sektor lain dalam perekonomian yang rontok lagi.
—–oOo—–
Untuk mencegah ’skenario mimpi buruk’ di atas terjadi, bank Sentral Amerika lalu membuat sebuah paket program penyelamatan sektor finansial, yang tujuannya adalah untuk mendorong bank-bank lebih berani mengucurkan kredit dan juga meminjamkan dana antar sesamanya. Berbagai fasilitas pinjaman lalu ditawarkan kepada para perusahaan finansial itu.
Salah satu dari program penyelamatan yang ditawarkan oleh pemerintah USA adalah semacam program ‘Tukar Guling’. Dalam program ini, Bank Sentral Amerika memberikan kesempatan kepada berbagai bank untuk meminjam surat berharga terbitan negara (Treasuries) dengan hanya menggunakan jaminan CDO dan sejenisnya. Program ini sendiri cukup mengundang kontroversi. Jika memakai perumpamaan, maka program ini bisa diibaratkan seperti meminjam uang (yg mempunyai nilai) dengan menggunakan jaminan kertas koran.
—–oOo—–
Lalu apakah tujuan dari paket penyelamatan pemerintah USA ini berhasil dicapai? Apakah perusahaan-perusahaan finansial itu kini lebih berani mengucurkan kredit dan juga saling meminjamkan dana di antara sesamanya?
Dari pengamatan di lapangan, sepertinya sampai saat ini program pemerintah tersebut belum menampakkan hasil.
Sebagai contoh, baru baru ini saya membaca artikel tentang bunga KPR tempo 30 tahun di USA. Di minggu ini, rata-rata bunga KPR utk tempo 30 tahun adalah 6,52%. Ini relatif tidak berubah dibandingkan dengan kondisi tahun lalu, dimana nilainya adalah 6,59%. Padahal, dalam 1 tahun ini, the Fed (bank Sentral Amerika) telah menurunkan suku bunga Fed Rate dari 5,25% hingga menjadi 2%. Seharusnya dengan turunnya Fed Rate, bunga KPR ini juga ikut turun, tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Penyebabnya tiada lain adalah karena keengganan/ketakutan para lembaga finansial untuk mengucurkan kredit. Akibatnya mereka meminta bunga yang tinggi untuk kreditnya.
—–oOo—–
Ketakutan para lembaga finansial untuk mengucurkan kredit juga bisa dilihat dari tingkat suku bunga Municipal Bonds. Apa itu Municipal Bonds? Di Amerika, berbagai instansi pemerintah dan juga pemerintah daerah dapat menerbitkan obligasi untuk memenuhi kebutuhan dananya. Sebagai ilustrasi, mungkin kita bisa ibaratkan jika seandainya PEMDA kota Jakarta kekurangan uang untuk pembangunan kota Jakarta, maka PEMDA Jakarta lalu bisa menerbitkan obligasi kota Jakarta. Obligasi semacam ini (yg bukan diterbitkan oleh pemerintah pusat) disebut sebagai Municipal Bonds.
Berdasarkan satu artikel yang saya baca, pada saat ini tingkat suku bunga Municipal Bonds di saat ini malah naik. Padahal sama seperti KPR, dengan turunnya suku bunga Fed Rate, seharusnya suku bunga utk Municipal Bonds ini juga ikut turun.
Satu artikel lain yang saya baca juga memberikan sinyal yang sama, di mana artikel ini meliput tentang kondisi pasar Commercial Paper (semacam surat hutang jangka pendek) yang menciut hingga 40% dari titik puncaknya di bulan July 2007. Menciutnya pasar Commercial Paper ini tidak disebabkan oleh keengganan para perusahaan finansial untuk meminjamkan dana di antara sesamanya.
—–oOo—–
Lalu apa dampak dari kondisi Krisis Kredit ini (Credit Crunch) bagi para Investor? Dampak yang paling jelas tentunya adalah kepada beban hutang yang ditanggung masyarakat. Meskipun suku bunga Fed Rate telah turun, penurunan bunga ini tidak bisa ‘dinikmati’ oleh masyarakat karena bunga yang dikenakan kepada mereka tetap tinggi. Dalam keadaan normal, seharusnya penurunan suku bunga yg begitu drastis oleh the Fed bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Tetapi akibat krisis kredit, dampak penurunan suku bunga itu ‘terhenti’ di sektor finansial dan tidak mencapai sektor perekonomian lainnya.
Satu hal yang perlu dipertimbangkan juga adalah skenario dimana di kemudian hari the Fed harus menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi. Jika ini terjadi sewaktu krisis kredit belum mereda, maka beban bunga yg dirasakan oleh masyarakat juga akan semakin tinggi dari saat ini, sehingga perekonomian akan semakin melambat.

Ketika saya menulis part 3 artikel seri ini, korban terakhir dari krisis Finansial adalah perusahaan finansial Bear Sterns. Waktu itu saya lalu berniat untuk menulis part 4 ini setelah ada perkembangan lebih lanjut yang sangat signifikan. Ternyata hanya dalam dua bulan sejak part 3 saya tulis, semakin banyak nama-nama besar di dunia finansial yang bertumbangan. Walaupun begitu, saya masih belum terlalu terpikir untuk melanjutkan artikel seri ini, karena beritanya masih relatif sama, yaitu perusahaan finansial tumbang.
Meskipun demikian, dalam satu minggu terakhir, saya membaca beberapa berita ‘seram‘ yang membuat saya berpikir ‘Mungkin sudah saatnya saya meneruskan cerita tentang krisis kredit‘. Meskipun demikian, mungkin kini judul yang tepat bukanlah ‘Krisis Kredit Amerika’ lagi, melainkan Krisis Kredit Global’.
—–oOo—–
Berita ’seram’ pertama yang mungkin terlewatkan dari ‘radar’ kebanyakan orang adalah berita mengenai keadaan di 2 negara bagian Amerika, yaitu Massachusetts dan California. Pengaruh krisis kredit telah begitu meluas dan dampaknya pun terasa ke sektor pemerintahan. Kedua negara bagian tersebut kini mengalami kesulitan keuangan untuk membayar berbagai pengeluaran rutinnya (spt gaji guru, polisi, pemadam kebakaran, dll).
Gubernur California, Arnold Schwarzenegger, beberapa hari lalu menulis surat kepada Departemen Keuangan USA bahwa negara bagiannya mungkin membutuhkan pinjaman lunak darurat sebesar kira-kira US$7 Milyar. Tidak lama kemudian, Bendahara negara bagian Massachusetts pun menyatakan kemungkinan membutuhkan pinjaman lunak untuk menutupi defisit anggarannya.
Dalam kondisi normal, negara bagian USA yang membutuhkan dana bisa dengan mudah mendapatkan dana tersebut dengan menerbitkan obligasi sendiri, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Tetapi dalam krisis kredit saat ini, ‘jalan’ ini bisa dikatakan tertutup. Mengapa demikian? Ini karena setelah tumbangnya berbagai lembaga finansial, berbagai perusahaan finansial yang tersisa mengalami ‘trauma’ untuk meminjamkan uang kepada pihak lain. Uang yang mereka miliki akan mereka ‘pegang erat-erat’ untuk berjaga-jaga.
Sebagai ilustrasi, kondisi ini mungkin bisa kita ibaratkan seandainya kita adalah pemilik toko sembako dan lalu terjadi kelaparan yang sangat parah yang entah kapan akan berakhir. Dalam kondisi ini, seandainya kita mengalami kesulitan mendapatkan pasokan sembako, kita mungkin akan enggan untuk menjual barang dagangan kita dan memilih menyimpannya utk konsumsi keluarga kita sendiri. Singkatnya, kondisi saat ini bisa dikatakan dalam bahasa gaul ‘Elu elu, Gue gue, jaga diri masing-masing‘.
Sulitnya mendapatkan dana dari sektor finansial memaksa para gubernur negara bagian tersebut kini berpaling kepada pemerintah pusat untuk meminta bantuan. Meskipun demikian, belum ada kabar bagaimana jawaban pemerintah pusat terhadap permohonan bantuan pinjaman ini.
Lalu apa yang akan terjadi seandainya bantuan pinjaman ini tidak diberikan ketika para negara bagian itu membutuhkannya? Tentunya negara-negara bagian tersebut tidak bisa membayar para pegawainya (polisi, guru, dll). Proyek-proyek pembangunan akan dikurangi sebagian. Ini semua akan berpengaruh negatif kepada ekonomi yang saat ini sudah ditimpa berbagai masalah lain.
Saya sendiri merasa bahwa perkembangan dari berita ini akan menarik untuk diikuti, terlebih setelah disetujuinya program Bailout terhadap sektor finansial. Jika sektor finansial bisa mendapatkan pertolongan bailout sedangkan negara bagian tidak, bisa diperkirakan akan timbul reaksi yang keras dari masyarakat Amerika. Tetapi jika satu negara bagian diberikan pertolongan, maka ada kemungkinan negara bagian lain juga akan ‘antri’ meminta bantuan dari Depkeu. Ini akan semakin menambah besar beban pemerintah pusat yang sudah harus mengeluarkan uang banyak untuk program Bailout.
—–oOo—–
Berita ‘seram‘ lainnya yang membuat saya merasa harus menulis artikel ini terkait dengan satu negara kecil di Eropa, yaitu Islandia. Perdana Menteri Islandia, dalam satu keterangan pers mengucapkan suatu kalimat yang menimbulkan kehebohan, ‘Islandia terancam bangkrut nasional‘.
Penyebab timbulnya komentar yang mengagetkan ini tidak lain lagi-lagi adalah krisis kredit.
Sama seperti negara lainnya, krisis kredit juga menimpa bank-bank di Islandia. Selama masa booming beberapa tahun terakhir, berbagai bank di Islandia melakukan ekspansi besar-besaran. Begitu hebatnya ekspansi ini, hingga kini hutang di sektor perbankan negara itu mencapai US$100 Milyar, jauh di atas Produk Domestik Bruto Nasionalnya yang cuma US$14 Milyar.
Ketika krisis kredit mulai menyebar, bank-bank tersebut pun mulai sulit mendapatkan pinjaman. Pemerintah Islandia pun mengalami kesulitan yang besar untuk menolong bank-bank tersebut karena ukurannya yang terlalu besar dibandingkan dengan negaranya. Bantuan dari luar negeri pun sulit diharapkan karena negara-negara lain juga sedang sibuk memerangi krisis kredit di negara masing-masing.
Kesulitan yang dialami oleh Islandia ini semakin menumpuk karena mata uangnya sudah melemah hingga 40% dalam tahun ini saja. Akibatnya beban hutang yang mereka tanggung semakin besar. Melemahnya mata uang Islandia ini juga mengancam kondisi perekonomian mereka yang sangat tergantung kepada import, karena menimbulkan inflasi tinggi akibat semakin mahalnya barang import. Berita terakhir menyatakan bahwa inflasi di negara ini telah mencapai 14%.
—–oOo—–
2 tahun yang lalu, saya beruntung menemukan sebuah artikel yang membuat saya tersadar akan bahaya bubble properti di Amerika. Tidak lama setelah itu, saya kembali beruntung menemukan sebuah artikel yang menulis tentang betapa berbahayanya bubble di pasar instrumen derivatif seperti CDO, CDS, dll. Oleh karena itu ketika bubble ini akhirnya pecah, saya tidak kaget sama sekali karena memang sudah saya antisipasi sejak lama. Meskipun demikian, tidak pernah sekalipun saya terpikir bahwa krisis kredit saat ini akan sampai bisa menggoyang sebuah negara bagian ataupun negara (sekalipun negara kecil seperti Islandia).
Dengan perkembangan terakhir ini, saya pikir ada baiknya saya kembali mengulangi ‘wanti-wanti’ saya kepada para pembaca blog ini.
Seperti kita ketahui, saat ini mulai terjadi persaingan antar bank untuk memberikan ‘bunga’ yang tinggi untuk deposito, di atas bunga yang dijamin oleh program LPS bahkan di atas bunga dari Obligasi ORI. Tentunya kita perlu mempertanyakan alasan mengapa bank-bank tersebut melakukan hal seperti ini. Umumnya, penyebab utamanya adalah bank-bank tersebut mengalami kesulitan menghimpun dana dari masyarakat dan ada kemungkinan keadaan keuangannya agak ‘ketat’.
Jika bank-bank tersebut mengalami ‘masalah’, tentunya akan beresiko terhadap nasib uang yang kita tempatkan di bank itu, karena sudah tidak termasuk program penjaminan LPS. Pertimbangkan masak-masak sebelum teman-teman menempatkan uang di sana. Ingatlah bahwa tabungan dan deposito bukanlah tempat mencari hasil yang tinggi. Ingatlah bahwa fungsi utama dari instrumen tabungan dan deposito adalah keamanan dan likuiditas. Jangan sampai karena tergiur bunga lebih tinggi 1%-2% (per tahun), akhirnya menyesal karena timbul masalah yang tidak diinginkan.




Sumber : Blogger

Tidak ada komentar:

Posting Komentar